Apa itu kloning reproduktif?

Kloning reproduktif adalah suatu teknologi yang digunakan untuk menghasilkan organisme multiseluler yang identik secara genetik dengan organisme yang sudah ada. Proses kloning reproduktif ini merupakan reproduksi aseksual dimana tidak terjadi pembuahan atau kontak antargamet. Beberapa contoh kloning reproduktif yang terkenal adalah kloning domba Dolly dan kloning kucing. Kloning reproduktif dilakukan dengan cara memindahkan inti sel dewasa dari organisme yang ingin dikloning ke dalam sel telur yang telah diambil inti selnya. Selanjutnya, sel telur tersebut akan dipelihara dalam kondisi tertentu hingga menjadi embrio yang kemudian akan ditanamkan ke dalam uterus inang substitusi. Meskipun kloning reproduktif memiliki potensi untuk melestarikan spesies yang punah, namun banyak yang tidak mendukung karena berpotensi tidak aman dan tidak etis, terutama untuk diterapkan kepada manusia.

Tujuan utama kloning reproduktif adalah menghasilkan individu yang memiliki genom yang sama persis dengan individu yang dianggap sebagai donor. Ini seringkali digunakan dalam upaya menghasilkan salinan dari hewan ternak atau hewan peliharaan yang memiliki sifat-sifat genetik yang diinginkan. Di tingkat manusia, kloning reproduktif dapat menjadi upaya untuk menghasilkan anak yang memiliki genetika yang sama dengan individu yang diinginkan, meskipun ini adalah topik yang sangat kontroversial dan ilegal di banyak yurisdiksi.

Tahapan kloning reproduktif pada hewan

Tahapan kloning reproduktif adalah prosedur menciptakan organisme multiseluler baru yang secara genetik identik dengan yang lain. Berikut adalah tahapan kloning reproduktif pada hewan:

  1. Pengumpulan sel telur. Telur yang belum dibuahi diambil dari hewan betina yang akan bertindak sebagai induk surrogate.
  2. Penghapusan inti sel telur. Inti sel telur (yang mengandung materi genetik) dihapus dengan menggunakan teknik mikro-manipulasi.
  3. Pengambilan sel somatik. Materi genetik dari individu yang akan dikloning diambil dari sel somatik, seperti sel kulit atau sel otot
  4. Fusion sel somatik dan telur. Sel somatik yang diambil (misalnya, inti sel somatik) dimasukkan ke dalam telur yang telah dikosongkan intinya. Ini menciptakan embrio kloning yang memiliki materi genetik yang identik dengan individu donor.
  5. Stimulasi pembelahan. Sel telur yang telah dimodifikasi dengan inti sel somatik diaktifkan untuk memulai pembelahan, mirip dengan proses pembelahan sel telur yang terjadi dalam pembuahan alami.
  6. Kultur embrio. Embrio yang dihasilkan ditempatkan dalam medium kultur yang sesuai untuk mengembangkan embrio lebih lanjut sebelum implantasi.
  7. Implanasi. Embrio yang telah berkembang dapat diimplan pada induk surrogate yang akan bertindak sebagai “ibu angkat.” Induk surrogate ini akan mengandung dan melahirkan anak kloning.
  8. Perawatan dan pemantauan. Setelah kelahiran, anak kloning memerlukan perawatan khusus, dan perkembangannya harus dipantau dengan cermat

kloning reproduktif seringkali memiliki tingkat keberhasilan yang rendah, dan tidak semua embrio yang dihasilkan akan berkembang menjadi anak kloning yang sehat. Selain itu, kloning reproduktif hewan seringkali melibatkan biaya yang tinggi dan memerlukan perawatan intensif. Sedangkan Proses kloning reproduktif pada manusia masih menjadi topik yang kontroversial dan belum diizinkan secara hukum di banyak negara. Oleh karena itu, tahapan kloning reproduktif pada manusia tidak dapat dijelaskan secara rinci. Namun, secara umum, tahapan kloning reproduktif pada manusia serupa dengan pada hewan, yaitu dengan melakukan transfer inti dari sel dewasa donor ke dalam sel telur tanpa inti, dan kemudian memindahkan embrio hasil kloning ke dalam uterus inang substitusi.

 

Faktor-faktor yang menyebabkan kloning reproduktif gagal

Kloning reproduktif dapat menghadapi sejumlah faktor yang dapat menyebabkan kegagalan dalam menciptakan salinan identik dari individu tertentu. Beberapa faktor yang dapat menyebabkan kegagalan kloning reproduktif meliputi:

  1. Abnormalitas kromosom: Selama proses kloning, sel somatik yang digunakan sebagai donor materi genetik dapat mengalami perubahan kromosom atau kerusakan genetik. Hal ini dapat menyebabkan embrio kloning memiliki abnormalitas kromosom yang menghambat perkembangan normal.
  2. Masalah sel telur: Kualitas dan kesiapan sel telur yang digunakan dalam kloning sangat penting. Jika sel telur yang digunakan memiliki masalah, seperti ketidaksempurnaan dalam struktur inti sel telur, maka embrio yang dihasilkan mungkin tidak berkembang dengan baik.
  3. Gangguan selama proses manipulasi: Proses teknis manipulasi sel telur, termasuk penghapusan inti sel telur dan penyisipan inti sel somatik, rentan terhadap kesalahan teknis. Kesalahan selama manipulasi dapat mengakibatkan kerusakan pada embrio.
  4. Perkembangan embrio yang tidak normal: Meskipun embrio kloning awalnya dapat terbentuk, ada kemungkinan perkembangannya terhambat pada tahap tertentu, dan embrio tersebut mungkin tidak berkembang menjadi janin yang sehat.
  5. Penolakan oleh induk surrogate: Dalam beberapa kasus, induk surrogate mungkin tidak menerima atau tidak mampu membawa embrio kloning hingga lahir. Ini adalah risiko yang perlu diperhitungkan dalam kloning hewan.
  6. Masalah kesehatan setelah kelahiran: Anak kloning yang lahir dapat menghadapi masalah kesehatan yang dapat mempengaruhi kelangsungan hidup mereka. Faktor genetik dan epigenetik yang mungkin memainkan peran dalam masalah ini tidak selalu dapat diidentifikasi dengan jelas sebelum kelahiran.

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *