Bentuk Bahasa Non Verbal pada Anak Usia Dini

Bentuk Bahasa Non Verbal pada Anak Usia Dini

Pembahasan mengenai Macam-Macam Bentuk Bahasa Non-Verbal Anak usia dini dikutip oleh Info Menarik dari  artikel jurnal yang dipublikasikan oleh Aulad Journal on Early Childhood Education. Artikel ini ditulis oleh Deka Praditya Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Indonesia.

Daftar Isi

Paralinguistik

Paralinguistik disebut juga perilaku pesan melalui isyarat-isyarat verbal-vokal. Paralinguistik terletak di antara perilaku pesan verbal dan nonverbal. Pengorganisasikan penerapan vokal dengan kinesik dan proksemik dalam komunikasi antarpribadi merupakan cakupan paralinguistik (Putrayasa, 2014). Trager (dalam Mulyana 2012). menguraikan wujud dari paralinguistik terdiri dari kualitas suara, ciri vokal, pembatasan vokal, dan pemisahan vokal. Berdasarkan observasi yang dilakukan, paralinguistik yang nampak digunakan oleh guru PAUD dalam pembelajaran yaitu kualitas vokal, pembatasan vokal, dan pemisahan vokal. Kualitas vokal berkaitan dengan cara menggunakan vokal berdasarkan tanda-tanda tertentu. Guru menggunakan kualitas vokal yang berbeda ketika pembelajaran tergantung dengan konteks situasi dari peserta didik. Dalam konteks manajemen kelas, guru menggunakan vokal suara yang lantang ketika peserta didik sedang saling berbicara satu sama lain. Hal tersebut dimaksudkan agar vokal guru dominan dan peserta didik kembali memperhatikan guru. Pembatasan vokal dalam paralinguistik berkaitan dengan cara membunyikan suara pada setiap kata atau ‘frase’ kata. Dalam konteks pembelajaran, guru menunjukkan pembatasan dan pemisahan vokal ketika mendikte kata-kata tertentu untuk ditulis ke dalam buku tulis masing- masing peserta didik. Guru mengungkapkan kata-kata yang ditulis dengan tempo dan vokal yang bervariasi. Dalam konteks manajemen kelas, pembatasan vokal dan pemisahan vokal tampak ketika guru mengkondisikan agar peserta didik kembali ke tempat masing-masing atau menjaga sikap agar lebih tenang. Dalam pembelajaran dan konteks manajemen kelas, guru menggunakan paralinguistik untuk memberikan perintah yang bertujuan untuk membuat kelas lebih tenang. Penggunaan paralinguistik lebih dominan sebagai komunikasi individu dengan kelompok, bukan komunikasi individu dan individu.

Haptics

Haptics merupakan sentuhan yang diberikan penutur kepada mitra tutur seperti bersalaman, sentuhan di punggung, atau mengelus-elus (Permatasari, 2015). Berdasarkan observasi di PAUD, sentuhan dalam bahasa non verbal yang digunakan guru ketika kegiatan belajar mengajar antara lain, 1) meminta peserta didik kembali ke tempat duduknya, 2) mengarahkan peserta didik untuk menulis di buku tulis, 3) mengajari peserta didik untuk menulis di buku, 4) menegur peserta didik, 5) menghibur peserta didik yang menangis dan murung, 6) melerai peserta didik yang berkelahi, 7) mengajak untuk peserta didik untuk berdoa, 8) memberikan apresiasi, dan 9) menciptakan kondisi yang menyenangkan di awal pembelajaran. Guru melakukan sentuhan dengan peserta didik dengan cara menyentuh pergelangan tangan peserta didik dan membimbing peserta didik untuk duduk di tempat duduknya. Hal tersebut dilakukan dalam konteks suasana kelas yang ramai dan peserta didik sibuk berjalan-jalan atau tidak duduk di tempat masing-masing. Hal tersebut serupa ketika guru melerai peserta didik yang sedang bertengkar. Guru mengenggam kedua pergelangan tangan peserta didik yang berkelahi agar perkelahian berhenti. Dalam pembelajaran, guru melakukan haptiks yaitu mengajari peserta didik menulis. Kontes penggunaan bahasa non verbal tersebut adalah ketika peserta didik kesulitan dalam menulis dan enggan untuk menulis. Ketika peserta didik enggan menulis, guru mengajak peserta didik untuk menulis dengan cara menggenggam pergelangan tangan peserta didik dan mengarahkan ke buku tulis. Sentuhan tersebut merupakan bahasa non verbal guru untuk mengajak peserta didik agar menulis. Ketika peserta didik mengalami kesulitan dalam menuliskan huruf tertentu, guru akan menyentuh tangan peserta didik yang sedang menggenggam pensil untuk mengarahkan cara menulis huruf tertentu. Haptiks bukan hanya digunakan untuk berkomunikasi, melainkan menjadi bentuk metode belajar menulis bagi peserta didik PAUD. Hal tersebut dikarenakan salah satu pembelajaran menulis untuk anak usia dini yakni dengan membimbing tangan peserta didik ketika menulis untuk menuliskan huruf-huruf tertentu, agar peserta didik memahami langkah penulisan dan pola goresan setiap hurufnya (Sanjaya, 2014). Haptiks yang digunakan guru dalam menghibur, menegur, dan mengapresiasi peserta didik didominasi dengan sentuhan pada bagian pundak peserta didik. Guru menghibur peserta didik ketika terdapat peserta didik yang menangis. Selain menyentuh pundak, guru memeluk peserta didik yang menangis untuk menenangkan agar tangisan berhenti. Pemberian apresiasi disampaikan dengan bahasa non verbal guru dengan menyentuh pundak peserta didik atau mengelus kepala peserta didik. Dalam konteks menegur peserta didik, guru menyentuh punggung peserta didik ketika peserta didik memprovokasi teman-temannya untuk ramai di kelas. Sentuhan tersebut bertujuan agar guru mampu menegur peserta didik tanpa menunjukkan amarah. Kontak fisik antara guru dan peserta didik digunakan pula untuk memotivasi peserta didik. Dalam proses pembelajaran, guru dan peserta didik saling ‘tos’ atau menepukkan kedua telapak tangan antara guru dan peserta didik. Haptiks tersebut bukan hanya ditemukan ketika pembelajaran, melainkan dapat dilihat ketika peserta didik baris di depan kelas di pagi hari ketika hendak masuk ke kelas. Setiap peserta didik melakukan ‘tos’ dengan guru secara bergantian ketika memasuki ruangan kelas. Hal tersebut merupakan upaya guru untuk menciptakan suasana pra-pembelajaran yang menyenangkan, serta menjadi cara guru untuk melihat suasana hati peserta didik. Ketika peserta didik antusias ketika melakukan ‘tos’ dengan guru, diasumsikan peserta didik berangkat ke sekolah dalam suasana hati yang baik. Sebaliknya, guru dapat berasumsi bahwa suasana hati peserta didik kurang baik ketika ‘tos’ dilakukan dengan tidak semangat.

Kinesik

Bahasa non verbal kinesik merupakan pesan menggunakan gerakan-gerakan anggota tubuh. Kinesik mengkaji gerakan tubuh yang ikut berperan dalam fungsi komunikasi. Ray L Birdwhistell (dalam Maulana 2017) (Budyatna & Ganiem, 2011)(Budyatna and Ganiem 2011)(Budyatna and Ganiem 2011)(Budyatna and Ganiem 2011)(Budyatna and Ganiem 2011)(Budyatna and Ganiem 2011)(Budyatna and Ganiem 2011)pelopor studi bahasa non verbal, membagi kinesik ke dalam tiga ragam yaitu gerak tubuh, ekspresi wajah, dan kontak mata. Kinesik menjadi bahasa non verbal yang mudah dan sering ditemukan dalam konteks kegiatan belajar dan mengajar, baik di jenjang PAUD, TK, SD, SMP, SMA/SMK, maupun tingkat perguruan tinggi. Berdasarkan observasi yang dilakukan di PAUD, kedua kelas melakukan ketiga bahasa non verbal tersebut dalam pembelajaran. Masing-masing bahasa non verbal kinesik dideskripsikan dalam penjelasan berikut.

Gerak Tubuh (Gestur)

Gerak tubuh guru di kelas dalam pembelajaran di PAUD sangat beragam. Hal tersebut merupakan cara guru agar pembelajaran semakin konkret dan mudah diintepretasikan. Perkembangan kognitif peserta didik PAUD atau usia 4-5 tahun menuntut pembelajaran senyata mungkin. Hal tersebut dikarenakan di tahap usia 4-5 tahun, peserta didik sedang berada pada fase operasional konkret, tahap utama dalam penanaman pemikiran yang rasional dan operasional (Ramadhan, 2017). Pembelajaran kontekstual untuk peserta didik PAUD didukung oleh penggunaan gerak tubuh. Gerak tubuh dalam pembelajaran memiliki pembagian berdasarkan fungsi penggunaannya. Ekman dan Friesen (dalam Aghnadya, Nursih, and Prasetya 2015) mengkategorikan fungsi dari gerak tubuh terdiri tiga macam yaitu fungsi emblem, fungsi illustrator, dan fungsi adaptor. Berdasarkan hasil observasi, guru menggunakan gerak tubuh untuk memenuhi tiga fungsi tersebut. Fungsi emblem digunakan untuk menggambarkan makna tertentu. Hal tersebut tampak ketika pembelajaran guru mengacungkan telunjuk ke depan bibirnya dalam konteks keadan peserta didik yang ramai, dengan tujuan agar peserta didik tidak bicara satu sama lain. Fungsi illustrator digunakan untuk menunjukkan atau memperjelas suatu contoh. Guru PAUD menggunakan bahasa gerak tubuh ketika proses belajar sambil bernyanyi, Nyanyian di PAUD menggunakan gerakan-gerakan yang diciptakan oleh guru untuk sebagai bentuk aktifitas motorik peserta didik (Wulandari, 2017). Salah satu contoh yang ditemukan dalam observasi adalah guru menggambarkan kata ‘atap’ dalam lagu dengan mempertemukan kedua tangan pada jari telunjuk, tengah dan manis dalam keadaan mirng sehingga menyerupai atap rumah. Bahasa non verbal gerak tubuh yang mudah terlihat dalam pembelajaran yaitu gerak tubuh yang memiliki fungsi adaptor. Fungsi gerak tubuh adaptor merupakan gerak tubuh yang mengarah pada makna spesifik atau tujuan yang sebenarnya, seperti halnya ketika dalam pembelajaran guru merapikan rambut atau seragam peserta didik yang berantakan agar penampilan mereka tetap rapi.

Ekspresi Wajah

Ekspresi wajah merupakan perwakilan atas perasaan atau suasana hati seseorang. Wajah dapat menjadi sebuah media dalam penyampaian pesan (Zidny, 2013). Berdasarkan hasil observasi kedua kelas PAUD dalam kegiatan belajar mengajar dominan menggunakan ekspresi wajah ketidaksukaan / keengganan, kemarahan, tertawa, kecewa, perhatian, dan kebahagiaan. Keenam ekspresi tersebut tampak dalam proses pembelajaran dan merupakan bagian dari tiga puluh ekspresi wajah yang dikaji oleh Leather (dalam Salisah 2015). Dalam proses kegiatan belajar mengajar, guru menunjukkan keenam ekspresi tersebut untuk mengungkapkan responnya atas sesuatu yang terjadi di kelas. Ekspresi wajah ketidaksukaan / keengganan, kemarahan, dan tegas guru ditunjukkan dalam pembelajaran dengan persamaan yaitu mata membelalak. Guru membelalakkan mata, meningkatkan volume bicara di setiap kata dengan penekanan-penekanan di setiap katanya. Ekspresi ketidaksukaan guru ditambah dengan kedua tangan yang diletakkan di pinggang. Salah satu contoh ketika guru menunjukkan ekspresi wajah tersebut adalah ketika salah seorang peserta didik makan di kelas sebelum bel istirahat berbunyi. Ekspresi kekecewaan ditunjukkan ketika seorang anak menjatuhkan botol minum yang dibawanya sehingga lantai basah dan licin. Ekspresi kecewa ditunjukkan ketika tas peserta didik tersebut basah kuyub. Tertawa dan ekspresi kebahagiaan ditunjukkan ketika guru mengajak peserta didik menyanyi lagu sesuai dengan materi tematik pembelajaran yang sedang dipelajari.

Kontak Mata

Bahasa non verbal seringkali menyebut kontak mata dengan istilah gaze. Kontak mata mengkaji tentang cara menatap seseorang pada saat berinteraksi dengan mitra tutur. Seiring berkembangnya zaman, kontak mata dapat berfungsi sama halnya dengan ekspresi wajah yakni mengungkapkan ekspresi atau perasaan (Wulandari, 2017). Dalam konteks pembelajaran di kelas, guru PAUD menggunakan kontak mata kepada peserta didiknya sebagai pengingat atau larangan. Guru tidak perlu melarang atau mengingatkan peserta didik menggunakan verbal atau kata-kata, melainkan cukup menggunakan kontak mata. Salah satu kontak mata yang sering digunakan dalam pembelajaran di kelas 1 adalah ketika guru menatap salah seorang peseta didik yang berjalan-jalan di kelas. Setelah peserta didik tersebut sadar jika sedang diamati oleh gurunya, tidak lama setelah itu peserta didik duduk ke bangkunya kembali. Hal tersebut menunjukkan bahwa kontak mata mampu menjadi media penyampaian perintah tanpa perlu diungkapkan dalam kata atau bahasa verbal. Berdasarkan tabel 1, penggunaan bahasa non verbal guru dalam pembelajaran kelas 1 didominasi oleh haptik atau sentuhan. Jumlah penggunaan haptiks dalam pembelajaran lebih banyak dibandingkan dua bahasa non verbal yang lain, paralinguistik dan kinesik. Hal tersebut ditemukan pada kedua kelas yang berbeda. Intensitas setiap guru PAUD menggunakan haptiks lebih tinggi dibandingkan menggunakan paralinguistik dan kinesik.

Aghnadya, W., Nursih, I., & Prasetya, T. I. (2015). Komunikasi Instruksional Guru Seni Tari Rampak Bedug Kepada Siswa Tuna Rungu Dan Siswa Tuna Grahita Di Sekolah Khusus (SKH) Korpri Pandeglang. Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

Budyatna, M., & Ganiem, L. M. (2011). Teori Komunikasi Antar Pribadi. Kencana Prenada Media Group.

Maulana, E. R. (2017). Analisis Semiotika Pada Logo Hits Radio. Universitas Pasundan.

Mulyana, D. (2012). Pengantar Ilmu Komunikasi. Remaja Rosdakarya. Permatasari, V. (2015). Implementasi Kontrol Bilateral Untuk 1 Dof Haptic Manipulator. Institut Technology Sepuluh Nopember.

Putrayasa, I. B. (2014). Pragmatik. Cetakan pertama. Graha Ilmu.

Ramadhan. (2017). Lingkungan Pendidikan dalam Implementasi Pendidikan Karakter. Jurnal Pendidikan UNIGA.

Salisah, N. H. (2015). Psikologi Komunikasi: buku perkuliahan Program S-1 Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi IAIN Sunan Ampel Surabaya. Book.

Sanjaya, Y. C. (2014). Pembelajaran Penulisan Hanzi Dengan Metode Demonstrasi Bagi Siswa Kelas Viii Smp Kristen Pelita Nusantara Kasih Surakarta. Universitas Sebelas Maret.

Wulandari, R. T. (2017). Pembelajaran Olah Gerak Dan Tari Sebagai Sarana Ekspresi Dan Apresiasi Seni Bagi Anak Usia Dini. Jurnal Pendidikan, 1–18.

Zidny, D. M. (2013). Metafora kecantikan dalam iklan di mata konsumen: Analisis psikologis persepsi konsumen terhadap metafora kecantikan dalam iklan versi Vaseline, Nivea dan Citra. Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang.

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *