Cara gampang mengukur intelegensi emosi menjadi sebuah alat yang dikemukakan oleh pada ahli. Sejak tahun 2000-an, sepuluh tahun setelah Mayer dan Salovey pertama kali mengemukakan rumusan akademis- formal tentang inteligensi emosi, mulai terjadi pergeseran perdebatan akademis di antara para ahli inteligensi emosi.
FOkus perdebatan tidak lagi mengenai model-model inteligensi emosi. Melainkan, perdebatan lebih menyoal instrumen atau alat ukur inteligensi emosi. Masalah utama yang dipersoalkan adalah: dengan cara bagaimanakah inteligensi emosi semestinya diukur? Apakah diukur dengan alat ukur berupa tes untuk mengetahui pertorma maksimal? Ataukah, diukur dengan alat ukur laporan diri untuk mengetahui performa tipikal?
Secara umum, berbagai pandangan dalam perdebatan itu bisa dikelompokkan dalam dua pendekatan. Pendekatan pertama, berpandangan bahwa alat ukur inteligensi emosi semestinya mengukur performa maksimal, seperti dalam kemampuan kognitit/lQ. Tokoh utama pendekatan ini adalah Mayer dan Salovey. Pendekatan ini umumnya didukung oleh mereka yang memiliki latar belakang tradisi akademis Amerika Serikat.
Di pihak lain, ada yang berpendirian bahwa alat ukur inteligensi emosi yang tepat semestinya mengukur pertorma- tipikal, dalam bentuk kuesioner laporan diri (self-report), seperti dalam pengukuran ciri kepribadian. Tokoh utama pendekatan ini adalah K.V. Petrides dan A. Furnham. Pendekatan ini umumnya dianut oleh mereka yang memiliki latar belakang tradisi akademis Eropa, khususnya Inggris.”
Berdasarkan perbedaan penggunaan alat ukur itu, lantas dibedakan secara tegas dua macam inteligensi emosi.
Pertama,
inteligensi emosi yang diperoleh dengan alat ukur performa maksimal, disebut inteligensi emosi kemampuan (ability emotional intelligence). Di sini inteligensi emosi dipahami dalam konteks model murni (pure model). Dalam arti, inteligensi emosi dipahami semata-mata merupakan bentuk interaks antara kognisi dan emosi.
Kedua,
inteligensi emosi yang diperoleh dengan alat ukur performa tipikal, disebut inteligensi emosi ciri (trait emotional intelligence). Di sini inteligensi emosi dipahami dalam konteks model campuran (mix model). Dalam arti, inteligensi emosi dipahami bukan semata-mata interaksi antara dimensi kognisi dan emosi saja, melainkan mencakup dimensi kogniS1, emosi, dan motivasional/kepribadian.
Demikianlah, perdebatan mengenai alat ukur inteligensi emosi itu amat penting artinya bagi perkembangan wacana 1nteligensi emosi secara akademis. Karena, dengan demikian menjadi jelas perbedaan fundamental antara inteligensi emosi sebagai “kemampuan” dan inteligensi emosi sebagai “ciri”. “Inteligensi emosi kemampuan’ berkiblat pada model murni dan menggunakan alat ukur berupa tes kemampuan untuk mengukur performa maksimal. Sedangkan ‘inteligensi emosi ciri’ berkiblat pada model campuran dan menggunakan alat ukur berupa kuesioner laporan diri untuk mengukur performa tipikal.
Berdasarkan konstruksi seperti itu, secara teoretis, inteligensi emosi kemampuan berpotensi memiliki tingkat hubungan lebih kuat dengan inteligensi akademis/1Q. Di sisi lain, inteligensi emosi ciri berpotensi memiliki hubungan lebih kuat dengan ciri kepribadian.
Mengenai kedua pendekatan itu Petrides mengemukakan pendapat menarik.” Menurutnya, dengan tetap menghormati pendapat para pendukung alat ukur tes pertorma-maksimal, sebenarnya hampir tidak mungkin mengukur performa maksimal inteligensi emosi seseorang dengan menggunakan tes. Sebab, emosi seseorang bersifat sangat subjektif dan kompleks. Sehingga, tidak mungkin hal itu tergambarkan secara kompreshensif dan benar-benar objektif dalam bentuk skor yang diperoleh melalui tes. Yang lebih mungkin dilakukan adalah mengukur performa-tipikal inteligensi emosi seseorang dengan menggunakan laporan diri.
Pendirian itu selaras dengan kesimpulan studi intensif yang dilakukan Watson. la menyatakan, bahwa dalam hal-hal tertentu, mengukur emosi seseorang memang bisa dilakukan. Misalnya, itu dilakukan dengan menggunakan alat ukur elektrodermal. Meski demikian, hasil pengukuran itu harus divalidasi dengan hasil laporan-diri yang bersangkutan mengenai perasaannya. Dan, manakala terdapat perbedaan di antara keduanya, maka laporan-diri itulah yang harus lebih diutamakan.
Mengingat itu semua, maka sesungguhnya lebih realistis dan masuk akal mengukur inteligensi emosi dengan menggunakan kuesioner laporan-diri untuk memperoleh gambaran inteligensi emosi ciri. Langkah itu lebih mudah daripada mengukur inteligensi emosi dengan menggunakan tes kemampuan untuk memperoleh gambaran inteligensi emosi kemampuan.