Sosok Guru Masa Depan di Indonesia: Kompetensi dan Tantangan dalam Era Digital

Peran guru di Indonesia kini berubah pesat dengan kemajuan teknologi dan dinamika sosial. Guru masa depan tidak lagi hanya menyampaikan ilmu, tetapi juga harus menjadi fasilitator, mentor, dan pembentuk karakter yang membimbing generasi muda menghadapi tantangan global. Dalam pandangan para tokoh pendidikan di Indonesia, guru masa depan memerlukan beberapa kompetensi utama, seperti penguasaan teknologi pendidikan, kemampuan berpikir kritis dan kolaboratif, keterampilan membentuk karakter, fleksibilitas, serta kemampuan mengembangkan kurikulum yang inklusif dan sesuai kebutuhan siswa di era modern.

Guru masa depan harus menguasai teknologi pendidikan sebagai keterampilan dasar. Teknologi kini sudah menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari siswa yang lahir sebagai digital natives. Nadiem Makarim, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, menekankan pentingnya integrasi teknologi dalam program “Merdeka Belajar”. Nadiem menyebutkan bahwa penggunaan teknologi tidak hanya meningkatkan efektivitas pengajaran, tetapi juga memperluas dan memeratakan akses pengetahuan bagi siswa di seluruh Indonesia (Makarim, 2019). Guru harus bisa memanfaatkan aplikasi e-learning, platform pembelajaran daring, dan media sosial untuk menciptakan lingkungan belajar yang interaktif dan menarik.

Saat masih bersekolah, saya menyaksikan pembelajaran yang belum banyak menggunakan teknologi. Proses belajar mengajar banyak bergantung pada buku teks dan metode ceramah. Namun, di Program Pendidikan Profesi Guru (PPG), saya semakin memahami pentingnya menguasai teknologi dalam proses belajar. Aplikasi e-learning atau simulasi pembelajaran interaktif membuka peluang yang lebih besar bagi guru untuk membuat siswa tertarik dan termotivasi belajar. Hal ini saya lakukan saat melakukan PPL 1 di UPT SDN 007 Bangkinang dimana saya menggunakan media pembelajaran yang menarik pada pembelajaran rasio. Keranjang buah menjadi media pembelajaran dimana terdapat berbagai  buah yang akan dianalisis perbandingannya oleh peserta didik.

Di dunia yang semakin kompleks, keterampilan berpikir kritis dan kolaboratif sangat diperlukan, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam pembelajaran. Prof. Dr. H. Muhadjir Effendy, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, menyatakan pentingnya menanamkan keterampilan ini pada siswa melalui pendidikan berbasis proyek atau project-based learning (Effendy, 2016). Dalam metode ini, guru mengajak siswa untuk bekerja dalam kelompok, berdiskusi, dan menyelesaikan permasalahan nyata. Dengan begitu, mereka belajar untuk bekerja sama, menghargai pendapat, dan mengeksplorasi berbagai solusi.

Dulu, saya merasakan manfaat kerja tim dalam tugas kelompok di sekolah. Kini, dengan perspektif yang lebih matang di PPG, saya melihat bahwa keterampilan kolaboratif tidak hanya berguna untuk menyelesaikan tugas, tetapi juga membentuk karakter dan empati. Tugas kolaboratif di PPG pada mata kuliah Filosofi Pendidikan sering kali mendorong kami untuk berpikir kritis dan bertukar pandangan. Ini menjadi latihan berharga dalam mengasah kemampuan berkomunikasi dan berkolaborasi, yang sangat penting diterapkan di kelas nanti.

Selain aspek akademis, guru masa depan perlu berperan dalam membentuk karakter siswa. Ki Hadjar Dewantara, tokoh pendidikan Indonesia, menyatakan bahwa pendidikan adalah proses pembentukan karakter manusia yang utuh. Dalam konsep pendidikan Taman Siswa, Ki Hadjar merumuskan filosofi “ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani,” yang berarti guru harus menjadi teladan di depan, membangun semangat di tengah, dan memberi dorongan dari belakang (Dewantara, 1935). Filosofi ini relevan bagi guru masa depan yang tidak hanya menjadi sumber ilmu, tetapi juga figur yang dapat diteladani dalam hal karakter dan moral.

Pengalaman bersekolah menunjukkan bahwa guru berkarakter kuat dan peduli terhadap murid sangat berkesan. Keteladanan mereka memotivasi saya untuk selalu belajar menjadi pribadi yang lebih baik. Di PPG, saya semakin memahami pentingnya sikap dan karakter seorang guru dalam memengaruhi siswa. Guru masa depan harus menjadi panutan, tidak hanya dalam akademis tetapi juga moral dan etika. Dalam PPG, kami diajarkan bahwa perilaku dan sikap seorang guru sangat memengaruhi lingkungan belajar di kelas, serta membentuk siswa menjadi pribadi yang berkarakter.

Era digital dan globalisasi menuntut guru untuk fleksibel dan mampu beradaptasi dengan cepat. Dr. Yudi Latif, seorang pakar kebijakan publik dan pendidikan, menekankan pentingnya kemampuan beradaptasi untuk menghadapi ketidakpastian yang muncul seiring perkembangan zaman (Latif, 2012). Dalam konteks pendidikan, guru yang fleksibel mampu menyesuaikan metode pembelajaran sesuai kebutuhan siswa dan situasi yang berkembang. Fleksibilitas ini juga melibatkan kemampuan guru memperbarui pengetahuan dan keterampilan agar tetap relevan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan perubahan kebijakan pendidikan.

Di PPG, saya belajar untuk lebih fleksibel dalam metode dan pendekatan mengajar, terutama saat menjalani praktik mengajar. Proses ini mengajarkan saya untuk siap menghadapi berbagai kondisi di kelas dan merespons berbagai karakter siswa. Pengalaman ini semakin memperkaya pemahaman bahwa guru masa depan harus cepat beradaptasi dengan situasi dan lingkungan yang dinamis.

Indonesia kaya akan keberagaman budaya, bahasa, dan latar belakang sosial-ekonomi. Untuk memenuhi kebutuhan pendidikan semua lapisan masyarakat, guru masa depan harus mampu mengembangkan kurikulum yang inklusif. Prof. Dr. Arief Rachman, seorang tokoh pendidikan Indonesia, menekankan bahwa kurikulum yang inklusif dan adil adalah esensi dari pendidikan yang berkeadilan dan demokratis (Rachman, 2014). Guru harus memahami konteks budaya siswa sehingga dapat memberikan pendidikan yang relevan dan menghargai perbedaan.

Pengalaman saya di PPG menunjukkan pentingnya menerapkan kurikulum inklusif yang memperhatikan keberagaman latar belakang siswa. Di kelas, setiap siswa datang dengan pengalaman dan latar belakang berbeda, dan kurikulum yang inklusif membantu mereka merasa dihargai serta memperoleh akses pembelajaran yang setara. Memahami kebutuhan ini, saya semakin tergerak untuk merancang materi yang menghargai keberagaman budaya dan latar belakang siswa, sesuatu yang menjadi bagian integral dari pembelajaran yang adil.

 

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *