Idealistis Guru yang Semakin Tergerus: Filosofi Pendidikan Indonesia

Oleh : Siti Hajir, S.Pd

Masa menempuh pendidikan SMA adalah sebuah masa dimana saya menjadi pengamat dalam menentukan  jenjang karier kedepan yang akan saya pilih. Pendidikan Guru menjadi list pertama yang saya pilih dalam mendaftar kuliah saat itu. Kenapa Pendidikan Guru ? Pada awalnya saya bukan ingin menjadi guru, hal ini karena sosok seorang guru di sekolah SMA tempat saya menuntut ilmu yang menjadikan saya berniat untuk menempuh pendidikan menjadi seorang guru. Dia seorang sosok yang pintar dan tegas. Seorang bapak yang idealis dan mengayomi seluruh siswanya. Saya terinspirasi dengan beliau bukan karena kepandaiannya dalam menjelaskan teori Fisika kepada siswanya, namun saya kagum terhadap kemampuan beliau menyakinkan siswanya untuk dapat melakukan hal yang terbaik bagi hidupnya dan membanggakan kedua orang tua. Beliau adalah sosok yang idealis, beliau memiliki kepercayaan yang tinggi dalam mengelola peserta didiknya, tidak pernah membandingkan status sosial keluarga siswanya, yang salah tetap akan salah, yang benar akan tetap benar dipandangan beliau. Peraturan yang dibuat sekolah harus ditegakkan, jika melanggar maka akan mendapatkan konsekuensinya. Ketegasan beliaulah yang membuat saya kagum dan ingin menjadi seorang guru seperti beliau, yang memiliki ketegasan dan tekad yang bulat untuk membimbing siswanya menjadi siswa yang pintar, mandiri dan disiplin. Menempuh pendidikan di sebuah Fakultas Pendidikan di Provinsi Riau selama kurang lebih empat tahun, membuat saya mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan yang menjadikan pegangan bagi saya untuk bisa terjun ke dunia pendidikan dan mempraktekkan semua ilmu yang telah saya dapat. Ketika lulus, saya langsung mendapatkan kesempatan mengajar di tingkat MTs, Ilmu dan pengalaman selama berkuliah saya praktekkan, dan idealis dari sosok yang menginspirasi saya terapkan. Saya berusaha membuat siswa saya pintar dan memiliki sikap disiplin yang baik. Saya menjadi pendamping bagi siswa yang ingin mengikuti Olimpiade, mengajarkan ilmu dan trik untuk mengikuti Olimpiade. Saya juga keras terhadap siswa yang kurang disiplin dan suka bermain saat belajar. Pada saat itu, siswa yang bermasalah akan takut ketika berjumpa dengan saya, saya dijuluki moms Killer.

Sekitar kurang lebih empat tahun lalu, menjadi bom atom bagi saya, meledak dan hampir melukai saya. Siswa yang tidak senang dengan saya, nekat untuk mengancam saya dengan menggunakan sebuah gunting yang baru saja dibelinya di toko buku. Bersyukur saat itu saya diselamatkan oleh rekan guru dan juga Kepala Sekolah. Sejak kejadian itu, saya diberikan libur untuk menenangkan diri sampai siswa tersebut diproses dan dikeluarkan dari sekolah. Kejadian itu menjadi intropeksi bagi saya, bahwa idealisme seorang guru telah tergerus. Jika dulu pada saat saya SMA yang tidak menggunakan kaos kaki saja harus merasakan cubitan sakit dipinggang bukan suatu masalah yang besar, siswa akan menerima dengan lapang hati karena memang melanggar peraturan sekolah. Namun kini, bersuara besar dan tinggi saja seorang guru dapat mengancam nyawanya belum lagi mengenai fisik siswanya. Dan banyak lagi contoh saat ini yang dapat kita lihat kasus-kasus yang membahayakan seorang guru.

Dari pengalaman ini, saya memetik suatu pelajaran bahwa untuk menjadi seorang guru harus mampu mengikuti perkembangan zaman dan perkembangan psikologis siswa. Guru saat ini tidak bisa lagi memiliki idealistis yang kuat untuk mendidik siswanya dengan kekerasan fisik maupun verbal. Sosok guru masa depan yang ingin saya terapkan adalah menjadi seorang guru yang mampu mengerti dan mampu mengarahkan siswanya dengan cara yang baik dan tetap  membangun idealisme guru tanpa menggunakan kekerasan terhadap siswa. Dengan mengikuti kuliah Pendidikan Profesi Guru ini membuka mata saya bahwa dunia terus berkembang, dan untuk menjadi seorang guru harus terus belajar dan bertumbuh untuk dapat mendidik siswanya sesuai dengan perkembangan psikologis siswa menurut zamannya. Saat ini, siswa tidak terlalu membutuhkan perkembangan kognitif, karena dengan penggunaan AI saat ini siswa dapat mencari tahu sendiri jawaban yang akan mereka cari, yang dibutuhkan siswa saat ini adalah menemukan fasilitator untuk mengutarakan perasaan dan keinginan mereka kepada guru yang mengerti dengan posisi mereka namun tetap dengan idealismenya sendiri, dan itulah sosok guru masa depan yang ingin saya terapkan.

Filosofi Pendidikan menjadi salah satu mata kuliah dalam PPG Prajabatan, mata kuliah ini diampu oleh Bapak M. Fauzuddin, M.Pd. Dalam mata kuliah ini membuka mata saya mengenai arti pendidikan sebenarnya. Semboyan dari bapak Pendidikan Ki Hadjar Dewantara yaitu Ing ngarso sungtulodo, Ing Madya Mangunkarso dan Tut Wuri Handayani memiliki prinsip bahwa seorang pendidik dapat memberikan dukungan dan pembelajaran bagi siswanya, berupa mengedepankan ketauladanan, dukungan dari belakang dan dorongan untuk mencapai kemandirian. Pesan yang saya dapat dari pengajaran yang diberikan bapak Fauziddin, bahwa sebelum menjadi guru dan terjun sebagai pendidik nantinya di dunia pendidikan, seorang pendidik harus dapat memaknai dan menerapkan tiga semboyan dari Ki Hadjar Dewantara di atas, agar dapat menjadi guru professional dan menjadi inspirasi bagi siswanya. Begitulah sosok guru masa depan yang saya inginkan, menjadi guru yang menginspirasi dan dapat mengayomi siswanya dengan penuh perhatian dan empati tanpa menyampingkan idealisme seorang guru.

Dokumentasi siswa-siswi SDN 005 Langgini

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *